Perempuan dan anak merupakan kelompok yang paling rentan menjadi korban kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi. Meskipun Indonesia telah memiliki berbagai regulasi seperti UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), realitas di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak kasus yang belum tertangani secara adil dan tuntas.
Dalam beberapa tahun terakhir, publik dikejutkan oleh berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang viral, namun justru menunjukkan lemahnya respons sistem peradilan.
Dalam beberapa tahun terakhir, publik dikejutkan oleh berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang viral, namun justru menunjukkan lemahnya respons sistem peradilan.
Dasar Hukum Perlindungan Hukum Perempuan & Anak
Undang-Undang Perlindungan Perempuan: Salah satu undang-undang utama yang mengatur perlindungan perempuan adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). Undang-undang ini bertujuan untuk melindungi perempuan dari kekerasan fisik, psikologis, seksual, dan penelantaran.
Undang-Undang Perlindungan Anak: Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan kerangka hukum untuk melindungi anak dari berbagai bentuk kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi. Undang-undang ini menekankan hak-hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi dalam masyarakat.
Undang-Undang Perlindungan Anak: Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan kerangka hukum untuk melindungi anak dari berbagai bentuk kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi. Undang-undang ini menekankan hak-hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi dalam masyarakat.
Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum Perempuan dan Anak
1. Perlindungan Hukum
Perempuan dan anak berhak mendapatkan perlindungan hukum dari kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia, Ini termasuk akses ke pengadilan untuk melaporkan kekerasan dan mendapatkan keadilan.
2. Layanan Konseling dan Dukungan
Tersedia layanan konseling bagi korban kekerasan untuk membantu mereka pulih secara psikologis. Lembaga pemerintah dan non-pemerintah sering menyediakan layanan ini.
3. Pendidikan dan Kesadaran
Program pendidikan yang meningkatkan kesadaran tentang hak-hak perempuan dan anak sangat penting. Ini mencakup pendidikan tentang kekerasan berbasis gender, hak-hak reproduksi, dan perlindungan anak.
Perempuan dan anak berhak mendapatkan perlindungan hukum dari kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia, Ini termasuk akses ke pengadilan untuk melaporkan kekerasan dan mendapatkan keadilan.
2. Layanan Konseling dan Dukungan
Tersedia layanan konseling bagi korban kekerasan untuk membantu mereka pulih secara psikologis. Lembaga pemerintah dan non-pemerintah sering menyediakan layanan ini.
3. Pendidikan dan Kesadaran
Program pendidikan yang meningkatkan kesadaran tentang hak-hak perempuan dan anak sangat penting. Ini mencakup pendidikan tentang kekerasan berbasis gender, hak-hak reproduksi, dan perlindungan anak.
Tantangan Dalam Perlindungan Hukum Perempuan & Anak
Meskipun telah ada berbagai regulasi, masih terdapat tantangan dalam perlindungan hukum perempuan dan anak, seperti:
1. Stigma Sosial
Korban sering kali mengalami stigma sosial yang membuat mereka enggan melaporkan kekerasan.
2. Kurangnya Akses ke Keadilan
Banyak perempuan dan anak tidak memiliki akses yang memadai ke layanan hukum atau dukungan.
3. Kekurangan Sumber Daya
Lembaga yang menangani kasus-kasus perlindungan sering kali menghadapi keterbatasan sumber daya untuk menangani semua kasus dengan efektif.
1. Stigma Sosial
Korban sering kali mengalami stigma sosial yang membuat mereka enggan melaporkan kekerasan.
2. Kurangnya Akses ke Keadilan
Banyak perempuan dan anak tidak memiliki akses yang memadai ke layanan hukum atau dukungan.
3. Kekurangan Sumber Daya
Lembaga yang menangani kasus-kasus perlindungan sering kali menghadapi keterbatasan sumber daya untuk menangani semua kasus dengan efektif.
Hambatan-Hambatan Terkait Perlindungan Perempuan & Anak
1. Belum Optimalnya Implementasi Pidana Tambahan Dalam UU No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dalam praktiknya, penegak hukum sulit mengimplementasikan karena belum ada peraturan turunan, fasilitas/ sarana dan prasarana. Serta tidak adanya lembaga yang diberi amanat secara khusus untuk menjadi penyedia layanan.
2. Aparat Penegak Hukum Belum Memahami Konsep Relasi Kuasa
Relasi yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan dan/atau ketergantungan status sosial, budaya pengetahuan/pendidikan, dan/atau ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lainnya. Dalam hal relasi antar gender inilah berakibat merugikan pihak yang memiliki posisi lebih rendah. Relasi kuasa itulah membuat korban tidak bisa melawan/menolak karena kekuasaan yang ada pada seseorang.
3. Adanya Stereotip, Victim Blaming Dan Reviktimisasi
Adanya stereotip bahwa perempuan dianggap berperan terhadap terjadinya tindak pidana. Serta berupa victim blaming yang mengatakam korban disalahkan ketika perempuan tak melakukan perlawanan dalam kasus kekerasan seksual dianggap memberikan persetujuan. Kemudian perempuan kerap disalahkan akibat menggunakan pakaian terbuka dan keluar malam. Termasuk meragukan kesaksian korban lantaran memiliki hubungan dengan pelaku.
4. Aparat Penegak Hukum Belum Memberikan Pertimbangan Mengenai Dampak Psikis
Aparat penegak hukum belum mempertimbangkan dampak fisik dan psikis yang dialami perempuan korban, pemberian ganti rugi, dan proses pemulihan yang terpadu. Kemudian, ketiadaan ahli seperti psikolog dan visum et psikiatrikum yang dihadirkan dalam persidangan untuk menilai kondisi korban.
5. Belum Semua Pemberi Bantuan Hukum (PBH) Memberi Pendampingan Terhadap Korban
Aparat penegak hukum tidak mengakui atau tidak mengizinkan pendamping korban mendampingi selama proses hukum. Padahal pemberian pendampingan terhadap korban telah diatur gamblang dalam Pasal 10 huruf d UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
6. Korban Tidak Melaporkan Perkara Ke Jalur Hukum
Masyarakat yang memiliki permasalahan hukum, tidak melakukan upaya apapun untuk menyelesaikan permasalahan hukumnya.
Setidaknya terdapat alasan menempuh mekanisme formal dianggap akan membuat permasalahan semakin rumit.
7. Pemidanaan Masih Fokus Pada Pemenjaraan Pelaku
Paradigma penegakan hukum dalam perkara kekerasan terhadap perempuan dan anak masal berorientasi punitive dan retributive. Alhasil, perlunya pendekatan secara restorative justice terutama terkait pemulihan korban, Ironisnya, belum semua dakwaan dan tuntutan memuat penilaian/assessment kerugian yang dialami korban.
8. Kesulitan Menghadirkan Alat Bukti dan Menghadirkan Korban di Persidangan
Pembuktian kasus kekerasan terhadap perempuan acapkali terhambat. Penyebabnya akibat minimnya saksi dan alat bukti. Keengganan saksi memberi keterangan akibat adanya ancaman keselamatan maupun trauma. Korban kerapkali masih diperiksa secara bersamaan dengan pelaku atau terdakwa.
Dalam praktiknya, penegak hukum sulit mengimplementasikan karena belum ada peraturan turunan, fasilitas/ sarana dan prasarana. Serta tidak adanya lembaga yang diberi amanat secara khusus untuk menjadi penyedia layanan.
2. Aparat Penegak Hukum Belum Memahami Konsep Relasi Kuasa
Relasi yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan dan/atau ketergantungan status sosial, budaya pengetahuan/pendidikan, dan/atau ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lainnya. Dalam hal relasi antar gender inilah berakibat merugikan pihak yang memiliki posisi lebih rendah. Relasi kuasa itulah membuat korban tidak bisa melawan/menolak karena kekuasaan yang ada pada seseorang.
3. Adanya Stereotip, Victim Blaming Dan Reviktimisasi
Adanya stereotip bahwa perempuan dianggap berperan terhadap terjadinya tindak pidana. Serta berupa victim blaming yang mengatakam korban disalahkan ketika perempuan tak melakukan perlawanan dalam kasus kekerasan seksual dianggap memberikan persetujuan. Kemudian perempuan kerap disalahkan akibat menggunakan pakaian terbuka dan keluar malam. Termasuk meragukan kesaksian korban lantaran memiliki hubungan dengan pelaku.
4. Aparat Penegak Hukum Belum Memberikan Pertimbangan Mengenai Dampak Psikis
Aparat penegak hukum belum mempertimbangkan dampak fisik dan psikis yang dialami perempuan korban, pemberian ganti rugi, dan proses pemulihan yang terpadu. Kemudian, ketiadaan ahli seperti psikolog dan visum et psikiatrikum yang dihadirkan dalam persidangan untuk menilai kondisi korban.
5. Belum Semua Pemberi Bantuan Hukum (PBH) Memberi Pendampingan Terhadap Korban
Aparat penegak hukum tidak mengakui atau tidak mengizinkan pendamping korban mendampingi selama proses hukum. Padahal pemberian pendampingan terhadap korban telah diatur gamblang dalam Pasal 10 huruf d UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
6. Korban Tidak Melaporkan Perkara Ke Jalur Hukum
Masyarakat yang memiliki permasalahan hukum, tidak melakukan upaya apapun untuk menyelesaikan permasalahan hukumnya.
Setidaknya terdapat alasan menempuh mekanisme formal dianggap akan membuat permasalahan semakin rumit.
7. Pemidanaan Masih Fokus Pada Pemenjaraan Pelaku
Paradigma penegakan hukum dalam perkara kekerasan terhadap perempuan dan anak masal berorientasi punitive dan retributive. Alhasil, perlunya pendekatan secara restorative justice terutama terkait pemulihan korban, Ironisnya, belum semua dakwaan dan tuntutan memuat penilaian/assessment kerugian yang dialami korban.
8. Kesulitan Menghadirkan Alat Bukti dan Menghadirkan Korban di Persidangan
Pembuktian kasus kekerasan terhadap perempuan acapkali terhambat. Penyebabnya akibat minimnya saksi dan alat bukti. Keengganan saksi memberi keterangan akibat adanya ancaman keselamatan maupun trauma. Korban kerapkali masih diperiksa secara bersamaan dengan pelaku atau terdakwa.
Peran Lembaga Perlindungan Hukum Perempuan & Anak
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak: Kementerian ini bertanggung jawab untuk merumuskan kebijakan dan program yang mendukung perlindungan perempuan dan anak di Indonesia.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM): Banyak LSM berperan aktif dalam advokasi hak-hak perempuan dan anak, memberikan dukungan kepada korban kekerasan, serta melakukan kampanye kesadaran di masyarakat.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM): Banyak LSM berperan aktif dalam advokasi hak-hak perempuan dan anak, memberikan dukungan kepada korban kekerasan, serta melakukan kampanye kesadaran di masyarakat.
Lembaga-Lembaga Perlindungan Anak & Perempuan
1. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA)
2. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A)
3. Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI)
4. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (ΚΡΑΙ)
5. Komnas Perempuan
6. UNICEF Indonesia
2. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A)
3. Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI)
4. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (ΚΡΑΙ)
5. Komnas Perempuan
6. UNICEF Indonesia