Hukum perdata di Indonesia menganut prinsip sistem harta bersama (harta gono-gini) setelah pernikahan. Namun, juga memberi ruang bagi pasangan untuk menentukan pengaturan harta berbeda melalui perjanjian kawin. Pasal 119 KUH Perdata mengatur bahwa dalam hal tidak ada perjanjian kawin, maka seluruh harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Selain itu, Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan juga secara eksplisit menyatakan bahwa segala harta yang diperoleh selama perkawinan adalah harta bersama, kecuali jika ada perjanjian kawin yang mengatur sebaliknya. Dua bentuk perjanjian yang sering diperbincangkan belakangan ini ialah perjanjian pra nikah (prenuptial agreement) dan perjanjian pisah harta (postnuptial agreement). Meski sekilas tampak serupa, keduanya memiliki perbedaan mendasar baik dari sisi waktu, isi, maupun substansinya. Artikel ini mengupas secara rinci perbedaan keduanya, dasar hukum, contoh kasus, serta tantangan implementasinya di Indonesia.
Perbedaan Pokok
Dasar Hukum
Dasar hukum dari kedua jenis perjanjian ini diatur dalam:
Contoh Kasus
Tantangan dan Hambatan Implementasi
Meski secara hukum diperbolehkan, implementasi perjanjian pra nikah dan pisah harta di
Indonesia menghadapi sejumlah kendala:
Penutup
Perbedaan utama kedua perjanjian tersebut terletak pada waktu pembuatannya (sebelum atau setelah menikah) dan tujuan hukum yang ingin dicapai. Perjanjian pra nikah bersifat preventif, sedangkan perjanjian pisah harta lebih bersifat responsif terhadap kondisi yang muncul setelah pernikahan. Perjanjian pra nikah dan pisah harta memberikan solusi hukum untuk perlindungan aset dalam pernikahan, namun masih belum sepenuhnya diterima dan dipahami oleh masyarakat Indonesia. Untuk itu, dibutuhkan edukasi hukum yang lebih luas serta penyederhanaan prosedur agar pasangan bisa menjalankan hak hukumnya secara
maksimal tanpa terganjal stigma atau birokrasi.

Intern at Ambarsan & Partners Law Firm