Perceraian tidak hanya berdampak pada hubungan antara suami dan istri, tetapi juga menimbulkan persoalan hukum terkait pengasuhan anak. Salah satu isu krusial yang kerap muncul pasca perceraian adalah tentang hak asuh anak (hadhanah): apakah hak tersebut secara otomatis jatuh ke tangan ibu, atau ayah juga memiliki peluang yang sama untuk mendapatkan hak asuh?
Landasan Hukum Hak Asuh Anak di Indonesia
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
b. Kompilasi Hukum Islam (KHI) – berlaku di lingkungan peradilan agama
Pasal 105 KHI menyebutkan:
c. Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014 jo. UU No. 23 Tahun 2002)
d. Putusan Mahkamah Agung dan Praktik Yurisprudensi
Hakim biasanya mempertimbangkan:
Prinsip Kepentingan Bagi Anak
Hukum modern lebih mengedepankan prinsip "the best interest of the child". Artinya, yang menjadi dasar keputusan bukan hanya hubungan darah atau gender, tetapi:
Oleh karena itu, baik ibu maupun ayah berpeluang untuk mendapatkan hak asuh, selama dapat membuktikan bahwa dirinya lebih layak demi kepentingan anak.
Siapa yang Mendapatkan Hak Asuh?
Ibu lebih sering diberikan hak asuh, terutama jika anak masih kecil, karena dianggap memiliki ikatan emosional dan peran pengasuhan yang lebih dekat.
Ayah bisa mendapatkan hak asuh jika:
Kasus-Kasus yang Mencerminkan Kedudukan Ayah dan Ibu
Dalam beberapa putusan pengadilan, hak asuh diberikan kepada ayah, jika terbukti bahwa:
Sebaliknya, ibu lebih sering mendapatkan hak asuh atas anak yang masih balita atau belum cukup umur, karena dianggap memiliki ikatan emosional yang lebih kuat secara alamiah dan historis dalam pengasuhan.
Penyelesaian Sengketa Hak Asuh
Jika terjadi perselisihan mengenai hak asuh anak, penyelesaiannya dilakukan melalui:
Kesimpulan
Hak asuh anak pasca cerai tidak secara otomatis menjadi milik ibu maupun ayah, melainkan ditentukan berdasarkan pertimbangan hukum dan fakta di pengadilan. Baik ibu maupun ayah memiliki kedudukan hukum yang setara dalam mengajukan permohonan hak asuh, asalkan mampu menunjukan bahwa mereka bisa memenuhi kebutuhan fisik, emosional, dan psikologis anak.
Pada akhirnya, yang menjadi pusat perhatian hukum bukanlah keinginan orang tua, melainkan kepentingan terbaik anak, demi masa depan yang aman, sehat, dan seimbang.

Intern at Ambarsan & Partners Law Firm