Perjanjian Terjalin Hanya Secara Lisan, Apakah Sah Dimata Hukum?

Sebelum menjawab daripada pertanyaan tersebut, kiranya kita harus memahami terkait daripada perjanjian itu sendiri, secara sederhana perjanjian merupakan suatu bentuk kesepakatan yang terjalin oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan terdapatnya suatu prestasi untuk melakukan sesuatu, menyerahkan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Sebagaimana pengertian tersebut selaras dengan Pasal 1234 KUHPerdata yang menyebutkan “Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu”.

Apabila dilihat daripada pengertian mengenai perjanjian itu sendiri, dapat kita ketahui adanya suatu perjanjian memiliki konsekuensi hukum akan suatu perikatan yang terjalin antara para pihak, hal ini sebagaimana termuat dalam Pasal 1313 KUHPerdata dan Pasal 1233 KUHPerdata. Untuk itu bagaimana apabila suatu perjanjian terjalin hanya secara lisan tanpa adanya hitam diatas putih?

Berdasar pada Pasal 1320 KUHPerdata terkait syarat sah nya suatu perjanjian menyebutkan bahwa:

Pasal 1320

Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:

  • Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya

  • Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

  • Suatu pokok persoalan tertentu

  • Suatu sebab yang tidak terlarang

Apabila dilihat daripada Pasal 1320 KUHPerdata terkait syarat sah nya suatu perjanjian, dalam ketentuan tersebut tidak disebutkan keharusan dalam bentuk tertulis dan keabsahan perjanjian yang dibuatkan secara lisan selama syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata terpenuhi.

Lebih lanjut berdasar pada prinsip konsensualisme dalam Hukum Perdata Indonesia menguatkan pandangan bahwa bentuk bukanlah unsur mutlak dalam menentukan sahnya perjanjian, artinya ketika para pihak telah sepakat, sejutu dan sepemahaman mengenai suatu hal tertentu dan memenuhi unsur lainnya, maka perjanjian yang terjadi tetap sah walaupun hanya termuat secara verbal.

Hal tersebut merupakan suatu konsekuensi hukum berdasar pada asas Pacta Sun Servanda, bahwa perjanjian itu sendiri merupakan suatu undang-undang bagi para pihak yang terikat sebagaimana termuat dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Sehingga apabila salah satu pihak melakukan inkar janji terhadap apa yang menjadi suatu yang diperjanjikan tersebut menimbulkan konsekuensi hukum terhadap wanprestasi.

Kesimpulan

Berdasarkan pada penjelasan diatas, suatu perjanjian yang terjalin secara lisan mempunyai konsekuensi hukum yang sama dengan perjanjian tertulis, sehingga tidak menutup kemungkinan mempunyai kedudukan yang sah sama dengan perjanjian tertulis. Akan hal tersebut perjanjian yang terjalin secara lisan dalam perspektif hukum memiliki kekuatan hukum yang sah sepanjang hal-hal tersebut dapat dibuktikan kebenarannya.

tentang penulis
Half body_Muhammad Fikri Adzkiya - Fikri Adzkiya
Muhammad Fikri Adzkiya, S.H., CCD.

Intern at Ambarsan & Partners Law Firm

Belum menemukan solusi yang sesuai?

Kami Siap Membantu Anda Melalui Konsultasi Hukum yang Tepat dan Terpercaya.

Hubungi Tim Hukum Kami