Cacat Kehendak vs. Wanprestasi: Dasar Pembatalan Perjanjian dalam Perspektif KUH Perdata dan Yurisprudensi

Perjanjian adalah sumber utama perikatan dalam hukum perdata Indonesia sebagaimana diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Namun, tidak semua perjanjian yang telah disepakati para pihak sah dan dapat dilaksanakan sepenuhnya. Dalam praktiknya, perjanjian dapat dibatalkan karena dua alasan utama: adanya cacat kehendak saat perjanjian dibuat, atau terjadinya wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian. Kedua hal ini seringkali disalahpahami sebagai hal yang sama, padahal memiliki perbedaan mendasar baik dari segi substansi hukum maupun akibat hukumnya.

Pengertian Cacat Kehendak

Cacat kehendak terjadi ketika suatu perjanjian dibuat dengan kondisi yang tidak memenuhi unsur kebebasan berkontrak secara utuh. KUHPerdata mengatur empat bentuk cacat kehendak, yakni:

  • Paksaan (dwang) – Pasal 1324 KUHPerdata

  • Kekhilafan (dwaling) – Pasal 1322 KUHPerdata

  • Penipuan (bedrog) – Pasal 1328 KUHPerdata

  • Tipu daya lainnya – sesuai interpretasi luas terhadap pasal-pasal tersebut

Cacat kehendak menyebabkan perjanjian tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar) atas permintaan pihak yang dirugikan. Dalam hal ini, pembatalan bersifat retroaktif sejak perjanjian dibuat, karena dianggap sejak awal tidak memenuhi unsur kesepakatan secara sah.

Pengertian Wanprestasi

Wanprestasi adalah kegagalan salah satu pihak dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana telah disepakati dalam isi perjanjian. Berdasarkan KUHPerdata, wanprestasi dapat berupa:

  • Tidak melakukan apa yang dijanjikan

  • Melakukan apa yang dijanjikan tetapi tidak sebagaimana mestinya

  • Melakukan hal yang dilarang

  • Terlambat dalam memenuhi kewajiban

Berbeda dari cacat kehendak, wanprestasi tidak memengaruhi keabsahan perjanjian sejak awal, tetapi memunculkan hak bagi pihak yang dirugikan untuk meminta pemutusan perjanjian melalui mekanisme pengakhiran (ontbinding) atau ganti rugi.

Tujuan Normatif

  • Cacat Kehendak (Pasal 1320 jo. 1321–1328 KUHPerdata)

  • Hukum mempersyaratkan kesepakatan yang bebas dan sadar sebagai syarat sah perjanjian.

  • Bila kehendak tidak bebas (karena kekhilafan, penipuan, atau paksaan), maka syarat sah kesepakatan tidak terpenuhi, sehingga perjanjian bisa dibatalkan.

  • Pembatalan ini bersifat subyektif, hanya dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan.

  • Wanprestasi (Pasal 1234 jo. 1243 KUHPerdata)

  • Merupakan bentuk pelanggaran perjanjian terhadap kewajiban yang telah disepakati.

  • Tidak menghapus keabsahan perjanjian, tetapi menimbulkan konsekuensi hukum berupa hak tuntutan bagi pihak lain.

  • Sanksi hukum berupa pemenuhan perikatan, ganti rugi, atau pemutusan kontrak melalui pengadilan.

Tinjauan Praktis

  • Dalam Praktik Hukum

  • Pembuktian cacat kehendak cenderung lebih sulit karena harus menunjukkan bahwa sejak awal terjadi ketidaksadaran, penipuan, atau paksaan. Sering kali perlu alat bukti kuat seperti rekaman, saksi, atau dokumen.

  • Wanprestasi lebih mudah dibuktikan karena cukup menunjukkan bahwa salah satu pihak tidak memenuhi isi perjanjian tepat waktu atau sesuai janji.

  • Dalam Kontrak Bisnis

  • Banyak kontrak modern mencantumkan klausul wanprestasi dan sanksinya secara tegas, sehingga lebih cepat diselesaikan secara hukum.

  • Namun, cacat kehendak dapat muncul pada perjanjian yang dibuat dalam tekanan atau ketidaktahuan, seperti pada kontrak kredit, sewa beli, atau akta jual beli yang bermasalah.

  • Dalam Putusan Pengadilan

  • Hakim akan menilai niat para pihak saat membuat perjanjian (itikat baik), dan apakah unsur cacat kehendak terbukti secara konkret.

  • Dalam perkara wanprestasi, hakim lebih sering menilai tenggat waktu, isi kewajiban, dan keterlambatan, serta kerugian nyata yang timbul.

Tujuan Yurisprudensi

Dalam beberapa putusan pengadilan, perbedaan antara cacat kehendak dan wanprestasi telah ditegaskan. Misalnya, Putusan Mahkamah Agung No. 1570 K/Pdt/2011, di mana pengadilan mengabulkan pembatalan perjanjian karena terbukti terdapat penipuan dalam proses perjanjian kredit. Sementara dalam Putusan MA No. 2952 K/Pdt/2010, pengadilan memutuskan wanprestasi dalam kasus sewa menyewa, dan mewajibkan pihak tergugat membayar ganti rugi tanpa membatalkan perjanjian.

Yurisprudensi ini menunjukkan bahwa pengadilan cenderung memisahkan dengan jelas antara cacat kehendak sebagai alasan pembatalan, dan wanprestasi sebagai dasar untuk pemutusan atau tuntutan ganti rugi.

Kesimpulan

Secara normatif, cacat kehendak dan wanprestasi berada di dua tahap yang berbeda dalam siklus perjanjian. Cacat kehendak menyasar validitas awal, sedangkan wanprestasi menyasar pelaksanaan isi perjanjian. Secara praktis, pembatalan karena cacat kehendak lebih rumit dan jarang berhasil tanpa bukti kuat, sedangkan gugatan wanprestasi lebih umum terjadi dan memiliki jalur hukum yang lebih jelas. Penegasan terhadap keduanya tidak hanya relevan dari sisi teori hukum, tetapi juga berdampak besar dalam praktik penyelesaian sengketa perdata di Indonesia.

tentang penulis
PASS FOTO 3X4_Fathurramadhan PN - Fathur Putra
Fathurramadhan Putra Nugraha

Intern at Ambarsan & Partners Law Firm

Belum menemukan solusi yang sesuai?

Kami Siap Membantu Anda Melalui Konsultasi Hukum yang Tepat dan Terpercaya.

Hubungi Tim Hukum Kami