Perjanjian adalah sumber utama perikatan dalam hukum perdata Indonesia sebagaimana diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Namun, tidak semua perjanjian yang telah disepakati para pihak sah dan dapat dilaksanakan sepenuhnya. Dalam praktiknya, perjanjian dapat dibatalkan karena dua alasan utama: adanya cacat kehendak saat perjanjian dibuat, atau terjadinya wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian. Kedua hal ini seringkali disalahpahami sebagai hal yang sama, padahal memiliki perbedaan mendasar baik dari segi substansi hukum maupun akibat hukumnya.
Pengertian Cacat Kehendak
Cacat kehendak terjadi ketika suatu perjanjian dibuat dengan kondisi yang tidak memenuhi unsur kebebasan berkontrak secara utuh. KUHPerdata mengatur empat bentuk cacat kehendak, yakni:
Cacat kehendak menyebabkan perjanjian tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar) atas permintaan pihak yang dirugikan. Dalam hal ini, pembatalan bersifat retroaktif sejak perjanjian dibuat, karena dianggap sejak awal tidak memenuhi unsur kesepakatan secara sah.
Pengertian Wanprestasi
Wanprestasi adalah kegagalan salah satu pihak dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana telah disepakati dalam isi perjanjian. Berdasarkan KUHPerdata, wanprestasi dapat berupa:
Berbeda dari cacat kehendak, wanprestasi tidak memengaruhi keabsahan perjanjian sejak awal, tetapi memunculkan hak bagi pihak yang dirugikan untuk meminta pemutusan perjanjian melalui mekanisme pengakhiran (ontbinding) atau ganti rugi.
Tujuan Normatif
Tinjauan Praktis
Tujuan Yurisprudensi
Dalam beberapa putusan pengadilan, perbedaan antara cacat kehendak dan wanprestasi telah ditegaskan. Misalnya, Putusan Mahkamah Agung No. 1570 K/Pdt/2011, di mana pengadilan mengabulkan pembatalan perjanjian karena terbukti terdapat penipuan dalam proses perjanjian kredit. Sementara dalam Putusan MA No. 2952 K/Pdt/2010, pengadilan memutuskan wanprestasi dalam kasus sewa menyewa, dan mewajibkan pihak tergugat membayar ganti rugi tanpa membatalkan perjanjian.
Yurisprudensi ini menunjukkan bahwa pengadilan cenderung memisahkan dengan jelas antara cacat kehendak sebagai alasan pembatalan, dan wanprestasi sebagai dasar untuk pemutusan atau tuntutan ganti rugi.
Kesimpulan
Secara normatif, cacat kehendak dan wanprestasi berada di dua tahap yang berbeda dalam siklus perjanjian. Cacat kehendak menyasar validitas awal, sedangkan wanprestasi menyasar pelaksanaan isi perjanjian. Secara praktis, pembatalan karena cacat kehendak lebih rumit dan jarang berhasil tanpa bukti kuat, sedangkan gugatan wanprestasi lebih umum terjadi dan memiliki jalur hukum yang lebih jelas. Penegasan terhadap keduanya tidak hanya relevan dari sisi teori hukum, tetapi juga berdampak besar dalam praktik penyelesaian sengketa perdata di Indonesia.

Intern at Ambarsan & Partners Law Firm