Konsekuensi Hukum Atas Meninggalnya Terdakwa Terhadap Ganti Kerugian Keuangan Negara yang Disebabkan Oleh Tindak Pidana Korupsi

Dalam hukum pidana, asas principle of personal responsibility berlaku, yaitu bahwa pertanggungjawaban pidana bersifat pribadi. Dengan demikian, meninggalnya terdakwa menyebabkan gugurnya proses pidana terhadap yang bersangkutan. Namun, dalam konteks tindak pidana korupsi, seringkali terdapat kerugian negara yang belum dipulihkan. Hal ini menimbulkan pertanyaan hukum mengenai bagaimana nasib kewajiban penggantian kerugian keuangan negara apabila terdakwa meninggal dunia sebelum adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

Tindak pidana korupsi tidak hanya menimbulkan akibat pidana bagi pelaku, tetapi juga membawa kerugian signifikan terhadap keuangan dan perekonomian negara. Dalam konteks ini, pemulihan kerugian negara menjadi aspek penting yang tidak dapat diabaikan. Permasalahan timbul ketika terdakwa dalam perkara korupsi meninggal dunia sebelum proses peradilan selesai. Apakah negara masih dapat menuntut penggantian kerugian? Pendapat hukum ini bertujuan untuk menguraikan implikasi hukum dari peristiwa tersebut dalam perspektif hukum pidana dan hukum perdata Indonesia.

Aspek Hukum Pidana Terhadap Gugurnya Penuntutan

Berdasarkan Pasal 77 KUHP dan Pasal 82 huruf b KUHAP, penuntutan pidana gugur apabila terdakwa meninggal dunia. Artinya, seluruh proses pidana harus dihentikan, termasuk kemungkinan pengenaan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Putusan Mahkamah Agung No. 1459 K/Pid.Sus/2010 juga menegaskan bahwa meninggalnya terdakwa menyebabkan perkara pidana tidak dapat diteruskan. Oleh karena itu, tidak dapat lagi dijatuhkan pidana atau pidana tambahan, termasuk pembayaran uang pengganti. Baru-baru ini terhadap suatu fenomena yang terjadi di masyarakat atas terungkapnya sindikat Korupsi di PT. Timah terkait pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. Timah yang melibatkan segelintir pejabat ditanah air.

Dalam hal ini salah satu Terdakwa Tindak Pidana Korupsi PT. Timar yakni Suparta dinyatakan telah meninggal dunia pada Senin, 28 April 2025 di Lapas Cipinang, Bogor Jawa Barat. Lantas Bagaimana terkait konsekuensi hukum yang dibebankan ke Terdakwa atas adanya kerugian keuangan negara atas Tindak Pidana Korupsi?. Menurut Ahli Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menjelaskan, perbuatan melanggar hukum yang dilakukan Terdakwa mencakup pidana dan perdata.

Mengacu kepada Pasal 34 UU Tipikor yang menjelaskan bahwa, “Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan disidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”.

Aspek Hukum Perdata Terhadap Gugatan Perdata Sebagai Alternatif Pemulihan Kerugian Keuangan Negara

Walaupun dalam perspektif hukum pidana telah gugurnya dalam upaya penuntutan terhadap Terdakwa akibat meninggal dunia, hukum Indonesia tetap memberikan jalan bagi negara untuk memulihkan kerugian melalui mekanisme gugatan perdata. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa kerugian keuangan negara sebagai akibat perbuatan melawan hukum tetap dapat ditagih terhadap harta peninggalan terdakwa.

Landasan hukum gugatan perdata tersebut mencakup:

  • Pasal 1365 KUHPerdata “Setiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian mewajibkan pelakunya untuk mengganti kerugian tersebut”.

  • Pasal 32 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 “Dalam hal terdapat kerugian keuangan negara, maka instansi yang dirugikan dapat mengajukan gugatan perdata terhadap pelaku atau pihak lain yang menikmati hasil korupsi.”

  • Pasal 1100 KUHPerdata, “Para ahli waris yang telah bersedia menerima warisan, harus ikut memikul pembayaran utang, hibah wasiat, dan beban-beban lain, simbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan itu”.

Dengan demikian harta peninggalan (boedel warisan) dari terdakwa dapat dimintakan pertanggungjawaban dalam proses perdata. Para ahli waris akan dimintai pertanggungjawaban sebatas nilai warisan yang diterima, sebagaimana diatur dalam Pasal 1100 KUHPerdata. Sehingga gugatan perdata yang dilakukan oleh Jaksa Pengacara Negara kepada para Ahli Waris dilandasi asas Le Mort Saisit le vif yang berarti jika seseorang meninggal dunia, maka seketika itu pula segala hak dan kewajiban beralih kepada ahli warisnya.

Kesimpulan

Meninggalnya terdakwa dalam tindak pidana korupsi menyebabkan proses pidana tidak dapat dilanjutkan, termasuk pemidanaan uang pengganti. Namun, hal ini tidak serta-merta menghapus kemungkinan pemulihan kerugian negara melalui jalur perdata. Negara dapat dan seharusnya menggunakan mekanisme gugatan perdata terhadap harta peninggalan terdakwa untuk memastikan bahwa kerugian keuangan negara tetap dapat dikembalikan.

tentang penulis
Half body_Muhammad Fikri Adzkiya - Fikri Adzkiya
Muhammad Fikri Adzkiya, S.H., CCD.

Intern at Ambarsan & Partners Law Firm

Belum menemukan solusi yang sesuai?

Kami Siap Membantu Anda Melalui Konsultasi Hukum yang Tepat dan Terpercaya.

Hubungi Tim Hukum Kami