Anak memiliki peran yang krusial untuk masa depan suatu bangsa. Namun dalam realitanya, banyak anak yang terlibat dalam aktivitas yang melanggar hukum, baik sebagai pelaku, korban, ataupun saksi. Anak yang berkonflik dengan hukum (ABH) memerlukan penanganan khusus agar hak-haknya tetap terjaga selama proses hukum berlangsung. Di Indonesia, perlindungan hukum terhadap ABH diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, salah satunya melalui sistem Peradilan Pidana Anak.
Pengertian Anak yang Berkonflik dengan Hukum (ABH)
Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah:
“Anak yang berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.”
Sistem Peradilan Pidana Anak
UU No. 11 Tahun 2012 memperkenalkan pendekatan khusus dalam menangani anak yang berkonflik dengan hukum, dengan mengutamakan prinsip keadilan restoratif (restorative justice) yang bertujuan untuk memulihkan bukan pembalasan.
Beberapa prinsip penting dalam sistem ini:
Ancaman Pidana Terhadap ABH
Sesuai dengan ketentuan Pasal 79 UU Sistem Peradilan Pidana Anak:
Kasus anak yang melakukan pencurian ringan dan diupayakan diversi di tingkat kepolisian merupakan contoh penerapan keadilan restoratif. Melalui musyawarah antara anak, orang tua, korban, dan aparat penegak hukum, anak diberikan kesempatan memperbaiki diri tanpa harus melalui persidangan.
Perlindungan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah wujud komitmen negara dalam menjamin hak anak, sekaligus upaya mencegah anak-anak terjerumus lebih jauh dalam tindak pidana. Dengan menggunakan sistem peradilan pidana anak yang humanis dan berkeadilan restoratif, diharapkan anak dapat kembali berintegrasi dengan baik di lingkungan sosialnya.

Intern at Ambarsan & Partners Law Firm