Dalam sistem hukum perdata Indonesia, alat bukti memiliki peran sentral dalam proses pembuktian di pengadilan. Salah satu alat bukti yang sering digunakan adalah akta. Berdasarkan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), akta dibedakan menjadi dua jenis: akta otentik dan akta di bawah tangan. Kedua jenis akta ini memiliki kekuatan pembuktian yang berbeda serta konsekuensi hukum yang signifikan.
Pengertian Akta Otentik
Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang dan sesuai dengan bentuk yang ditetapkan oleh undang-undang. Contohnya termasuk akta notaris, akta tanah oleh PPAT, dan akta perjanjian nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah. Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian sempurna (voll bewijs) mengenai isi yang secara formal tercantum di dalamnya, sepanjang tidak dibantah dengan bukti sebaliknya melalui pembuktian terbalik.
Pengertian Akta di Bawah Tangan
Sebaliknya, akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat oleh para pihak sendiri tanpa melibatkan pejabat umum. Misalnya, perjanjian utang-piutang yang ditulis dan ditandatangani sendiri oleh kedua belah pihak. Akta ini tetap sah dan berlaku sebagai alat bukti, namun memiliki kekuatan pembuktian yang lebih lemah dibandingkan akta otentik. Validitasnya sering kali bergantung pada pengakuan dari pihak yang dituju oleh akta tersebut.
Perbedaan dalam Pembuktian Hukum
Perbedaan utama terletak pada tingkat kekuatan pembuktian. Dalam praktiknya, akta otentik dapat langsung dijadikan bukti di pengadilan tanpa perlu pembuktian lebih lanjut mengenai keasliannya. Sementara itu, akta di bawah tangan sering kali harus dikuatkan terlebih dahulu, baik melalui pengakuan pihak lawan atau melalui saksi dan alat bukti tambahan.
Selain itu, apabila terdapat sengketa mengenai keaslian akta di bawah tangan, pihak yang mengajukannya wajib membuktikan keabsahannya. Sedangkan terhadap akta otentik, pihak yang menolaknya yang justru harus membuktikan adanya cacat hukum, misalnya karena dipalsukan atau dibuat oleh pejabat yang tidak berwenang.
Contoh Kasus: Sengketa Perjanjian Utang Piutang
Seorang pengusaha, Tuan A, meminjamkan uang sebesar Rp500 juta kepada rekannya Tuan B. Perjanjian utang-piutang tersebut hanya dibuat secara tertulis di atas kertas bermaterai dan ditandatangani oleh kedua belah pihak tanpa melibatkan notaris. Beberapa tahun kemudian, Tuan B tidak membayar utangnya. Ketika perkara diajukan ke pengadilan, Tuan B mengingkari tanda tangannya dalam perjanjian tersebut.
Karena dokumen tersebut merupakan akta di bawah tangan, pengadilan mewajibkan Tuan A membuktikan keabsahan akta tersebut. Dalam hal ini, diperlukan saksi atau bukti lain (seperti rekaman komunikasi atau transfer bank) untuk menguatkan bahwa memang benar perjanjian itu pernah dibuat dan ditandatangani.
Seandainya perjanjian itu dibuat dalam bentuk akta otentik oleh notaris, maka Tuan A tidak perlu membuktikan keaslian tandatangan tersebut. Justru Tuan B-lah yang harus membuktikan bahwa akta tersebut cacat hukum atau tidak sah.
Yurisprudensi Terkait
Dalam perkara ini, Mahkamah Agung menyatakan bahwa: “Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, kecuali dapat dibuktikan bahwa akta tersebut palsu atau mengandung cacat hukum.”
Putusan ini menegaskan bahwa akta otentik tidak bisa begitu saja disangkal kebenarannya oleh pihak lain tanpa bukti yang kuat. Sebaliknya, jika akta tersebut hanya akta di bawah tangan, maka pengadilan akan lebih ketat dalam menilai validitasnya.
Perkara ini berkaitan dengan penolakan terhadap akta di bawah tangan: “Apabila akta di bawah tangan disangkal kebenarannya oleh pihak yang tidak mengakuinya, maka pembuktian kebenaran isi dan tanda tangan pada akta tersebut menjadi beban pihak yang mengajukan.”
Putusan ini menegaskan prinsip bahwa beban pembuktian berada pada pihak yang mengajukan akta di bawah tangan, apabila keabsahannya dibantah oleh pihak lawan.
Kesimpulan
Memahami perbedaan antara akta otentik dan akta di bawah tangan sangat penting, terutama dalam penyusunan kontrak atau perjanjian yang berpotensi menjadi objek sengketa. Untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat dan menghindari perselisihan di kemudian hari, disarankan agar dokumen-dokumen penting dibuat dalam bentuk akta otentik oleh pejabat yang berwenang. Dengan begitu, kekuatan pembuktiannya akan lebih diakui di mata hukum dan memudahkan proses penyelesaian sengketa secara hukum perdata.
Yurisprudensi menunjukkan bahwa pengadilan memberikan kekuatan hukum yang lebih tinggi pada akta otentik dibandingkan akta di bawah tangan. Oleh karena itu, dalam praktik bisnis maupun hubungan hukum lainnya, penting bagi para pihak untuk mempertimbangkan penggunaan akta otentik guna meminimalkan risiko hukum dan memperkuat posisi jika terjadi sengketa di kemudian hari.

Intern at Ambarsan & Partners Law Firm