Kasus Fantasi Sedarah: Bagaimana Pengaturan dan Penegakan Hukum di Indonesia?

Pada Mei 2025, masyarakat Indonesia digemparkan dengan kemunculan sebuah grup Facebook bernama “Fantasi Sedarah”. Grup ini membahas dan menyebarkan konten mengenai fantasi seksual terhadap anggota keluarga sendiri atau yang biasa disebut dengan inses. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), inses adalah "hubungan seksual atau perkawinan antara dua orang yang bersaudara dekat yang dianggap melanggar adat, hukum, atau agama."

Fenomena ini menimbulkan keresahan publik, terutama karena berpotensi mengancam keselamatan anak serta menormalkan bentuk penyimpangan seksual yang sangat sensitif secara moral, sosial, dan hukum. Lalu bagaimana seharusnya hukum di Indonesia menyikapi dan menindak kasus seperti ini?

Indonesia memiliki beberapa instrumen hukum yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku dalam kasus ini. Tindakan membuat, menyebarkan, dan memfasilitasi konten “fantasi sedarah” dapat dijerat melalui beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain:

  • Undang-undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 (UU ITE)

Pasal 27 ayat (1) UU ITE menyatakan:

"Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum."

Tindakan menyebarkan konten “fantasi sedarah” di media sosial dapat dikategorikan sebagai penyebaran muatan yang melanggar kesusilaan. Sanksinya diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE:

"Dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."

  • Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)

Pasal 14 ayat (1) UU TPKS mengatur tentang kekerasan seksual berbasis elektronik:

"Setiap Orang yang tanpa hak:

a. melakukan perekaman dan/atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek; b. mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual; dan/atau c. melakukan penguntitan dan/atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi obyek untuk tujuan seksual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000,00."

Selanjutnya dalam Pasal 14 ayat (3) menyatakan “Kekerasan seksual berbasis elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan delik aduan, kecuali Korban adalah Anak atau Penyandang Disabilitas.” Sehingga dalam hal ini, Pasal tersebut pada dasarnya menyatakan bahwa kekerasan seksual berbasis elektronik adalah delik aduan, kecuali dalam kasus korban anak atau penyandang disabilitas. Oleh karena itu, dalam kasus ini yang melibatkan korban yang merupakan seorang anak tidak perlu aduan dari korban artinya bisa diproses langsung oleh aparat penegak hukum.

  • Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi)

Para pelaku dapat dikenakan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi yang menyatakan

“Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual; c. masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. alat kelamin; atau f. pornografi anak.”

Selanjutnya dalam Pasal 29 UU Pornografi menyatakan:

"Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 dan paling banyak Rp6.000.000.000,00."

Mengapa kasus ini perlu ditegakan melalui jalur pidana?

Fenomena “fantasi sedarah” tidak bisa dianggap sebagai sebatas imajinasi pribadi, sebab saat telah dipublikasikan dalam ruang digital publik seperti media sosial, konten tersebut dapat mendorong terjadinya pelanggaran kesusilaan; menormalisasi perilaku seksual menyimpang; membahayakan anak-anak yang rentan terhadap pelecehan atau eksploitasi seksual. Oleh karena itu, penegakan hukum terhadap kasus ini tidak hanya penting untuk memberikan efek jera, tetapi juga untuk melindungi masyarakat, khususnya anak-anak dari bahaya penyimpangan dan kekerasan seksual di dunia digital.

tentang penulis
foto melamar-removebg-preview - Grace Amelia Siagian
Grace Amelia Siagian

Intern at Ambarsan & Partners Law Firm

Belum menemukan solusi yang sesuai?

Kami Siap Membantu Anda Melalui Konsultasi Hukum yang Tepat dan Terpercaya.

Hubungi Tim Hukum Kami