Status hukum anak luar kawin dalam sistem hukum Indonesia merupakan topik yang kompleks dan sering menjadi sumber perdebatan, terutama dalam konteks hak waris. Dalam praktiknya, anak luar kawin—yakni anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut hukum—menghadapi posisi hukum yang berbeda, tergantung pada rujukan hukum yang digunakan: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) atau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Perbedaan pendekatan ini memengaruhi hak anak luar kawin dalam hal pembagian harta warisan.
Definisi Anak Luar Kawin
Dalam KUH Perdata Pasal 272, anak luar kawin didefinisikan sebagai anak yang dilahirkan dari orang tua yang tidak terikat dalam perkawinan sah, tetapi pengakuan terhadap anak tersebut masih dimungkinkan jika memenuhi ketentuan tertentu, seperti pengakuan melalui akta atau pernyataan resmi.
UU No. 1 Tahun 1974 tidak menggunakan istilah "anak luar kawin" secara eksplisit, tetapi dalam Pasal 43 ayat (1), ditegaskan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, kecuali dapat dibuktikan bahwa terdapat hubungan darah dengan ayahnya berdasarkan hasil ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti lain.
Status Waris Menurut KUH Perdata
Dalam sistem hukum waris perdata (berbasis Burgerlijk Wetboek), anak luar kawin yang tidak diakui hanya berhak atas warisan jika telah diakui secara sah oleh orang tua biologisnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 863 KUH Perdata. Anak luar kawin yang diakui berhak atas bagian waris yang lebih kecil dibandingkan anak sah, dan tidak memiliki hak waris terhadap keluarga ayah atau ibunya yang lain.
Namun demikian, anak yang lahir dari hubungan yang tidak dapat dinikahkan (misalnya karena salah satu pihak masih terikat perkawinan dengan orang lain), disebut sebagai "anak zina" atau "anak sumbang", dan menurut Pasal 280 KUH Perdata tidak dapat diakui, sehingga tidak memiliki hak waris sama sekali.
Status Waris Menurut UU Perkawinan dan Perkembangannya
Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan yang awalnya membatasi hubungan perdata hanya dengan ibu biologis, telah ditafsirkan ulang oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010. Dalam putusan ini, Mahkamah menyatakan bahwa anak luar kawin memiliki hubungan keperdataan dengan ayahnya jika dapat dibuktikan adanya hubungan biologis, termasuk hak waris.
Putusan ini menjadi tonggak penting dalam perlindungan hukum terhadap anak luar kawin, karena memperluas hak keperdataan, termasuk hak untuk menuntut warisan dari ayah biologisnya. Namun, pembuktian hubungan ayah-anak tetap harus dilakukan secara sah melalui alat bukti yang diakui, seperti tes DNA, pengakuan, atau penetapan pengadilan.
Implikasi Praktis
Dalam praktiknya, status anak luar kawin dalam pembagian warisan sangat tergantung pada pengakuan dan pembuktian. Jika hubungan darah dengan ayah dapat dibuktikan, anak tersebut berhak atas bagian waris yang sama seperti anak sah, sesuai asas nondiskriminasi terhadap anak yang ditegaskan oleh Undang-Undang Perlindungan Anak dan Konvensi Hak Anak.
Namun tanpa pengakuan atau bukti hubungan biologis, anak luar kawin hanya mewarisi dari ibunya. Hal ini sering menimbulkan konflik dalam sengketa warisan, terutama ketika pewaris telah meninggal dunia tanpa sempat mengakui anak tersebut secara hukum.
Kesimpulan
Status hukum anak luar kawin dalam konteks waris telah mengalami perkembangan signifikan dari pendekatan KUH Perdata yang cenderung bersifat diskriminatif menuju pendekatan yang lebih progresif dan berkeadilan dalam UU Perkawinan dan putusan Mahkamah Konstitusi. Meskipun demikian, implementasi di lapangan masih menghadapi tantangan, terutama dalam aspek pembuktian dan penerimaan sosial. Oleh karena itu, penguatan akses hukum dan perlindungan anak tetap menjadi isu penting dalam pembaruan hukum keluarga di Indonesia.

Intern at Ambarsan & Partners Law Firm