Gugatan Kabur dalam Hukum Acara Perdata

Dalam sistem hukum acara perdata Indonesia, penyusunan gugatan yang jelas dan terstruktur merupakan syarat mutlak agar hakim dapat memeriksa dan memutus perkara secara adil. Namun, dalam praktiknya, sering ditemukan adanya gugatan kabur (obscuur libel), yaitu gugatan yang tidak jelas, tidak lengkap, atau menimbulkan ketidakpastian hukum. Gugatan semacam ini dapat berakibat fatal bagi pihak penggugat karena dapat ditolak atau tidak dapat diterima oleh pengadilan.

Pengertian Gugatan Kabur

Gugatan kabur adalah gugatan yang tidak memenuhi syarat formal dan materiil, sehingga tidak dapat dipahami dengan jelas oleh tergugat maupun hakim.

Dalam praktik, gugatan yang kabur dianggap melanggar asas kepastian hukum dan fair trial, karena menyulitkan tergugat dalam membela diri dan membingungkan hakim dalam membuat putusan.

Dasar Hukum

Meskipun KUHPerdata dan HIR/RBg tidak secara eksplisit menyebutkan istilah “gugatan kabur,” prinsip ini berkembang dalam yurisprudensi dan doktrin hukum acara perdata. Hakim memiliki kewenangan menilai apakah suatu gugatan memenuhi syarat formil dan substansial sebagai dasar pemeriksaan perkara.

Salah satu landasan prinsipilnya adalah:

  • Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman:

"Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat". Termasuk dalam hal ini: menilai kejelasan gugatan sebagai prasyarat pemeriksaan perkara.

Yurisprudensi Terkait

  • Putusan Mahkamah Agung No. 1144 K/Sip/1974:

Menyatakan bahwa gugatan yang kabur tidak dapat diperiksa lebih lanjut karena tidak memenuhi syarat formil dan tidak jelas mengenai objek dan tuntutan hukum.

  • Putusan Mahkamah Agung No. 485 K/Sip/1971:

Gugatan harus mengandung posita dan petitum yang jelas serta logis. Jika tidak, maka gugatan dapat dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Ciri-Ciri Gugatan Kabur dalam Hukum Acara Perdata

  • 1. Identitas Para Pihak Tidak Jelas
  • Nama, alamat, atau kedudukan hukum penggugat atau tergugat tidak disebutkan dengan lengkap.

  • Tidak dapat dipastikan siapa yang sebenarnya menjadi pihak dalam sengketa.

  • Contoh: Menyebut tergugat hanya dengan "perusahaan yang berada di Jalan A" tanpanama resmi badan hukum atau penanggung jawab.

Lanjut
tentang penulis
PASS FOTO 3X4_Fathurramadhan PN - Fathur Putra
Fathurramadhan Putra Nugraha

Intern at Ambarsan & Partners Law Firm

Belum menemukan solusi yang sesuai?

Kami Siap Membantu Anda Melalui Konsultasi Hukum yang Tepat dan Terpercaya.

Hubungi Tim Hukum Kami