Perbedaan Tanah Negara dan Tanah Adat

Dalam hukum pertanahan Indonesia, pengaturan mengenai hak atas tanah bersumber pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960. Dua bentuk penguasaan tanah yang sering menjadi sorotan adalah tanah negara dan tanah adat (tanah ulayat). Meski sama-sama berada dalam wilayah hukum Indonesia, keduanya berbeda dari segi status hukum, penguasaan, dan mekanisme pengelolaan. Ketidaktahuan akan perbedaan ini sering menimbulkan konflik agraria di berbagai daerah.

1. Tanah Negara: Definisi dan Karakteristik

Tanah negara adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara karena:

  • tidak dibebani hak atas tanah,

  • haknya telah berakhir,

  • dilepaskan atau dicabut,

  • atau belum pernah didaftarkan sebagai hak tertentu.

Dasar hukum:

  • Pasal 2 UUPA: Negara memiliki kewenangan menguasai bumi, air, dan ruang angkasa.

  • PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah: mengatur tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

Contoh karakteristik:

  • Dapat diberikan kepada individu atau badan hukum sebagai Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), atau Hak Pakai.

  • Dikelola oleh instansi negara seperti BPN (Badan Pertanahan Nasional).

2. Tanah Adat: Definisi dan Karakteristik

Tanah adat atau tanah ulayat adalah tanah milik kolektif masyarakat hukum adat yang diwariskan turun-temurun, dan pengelolaannya berdasarkan norma adat yang masih hidup dan diakui negara.

Dasar hukum:

  • Pasal 3 UUPA: Mengakui hak ulayat masyarakat adat.

  • Putusan MK No. 35/PUU-X/2012: Menyatakan bahwa hutan adat bukan hutan negara.

  • Permen ATR/BPN No. 18 Tahun 2019: Prosedur pengakuan tanah ulayat.

Karakteristik:

  • Tidak dapat diperjualbelikan secara bebas.

  • Penguasaan komunal, bukan perseorangan.

  • Pengakuannya harus ditetapkan oleh pemerintah daerah berdasarkan verifikasi sosial dan historis.

3. Perbedaan Pokok Tanah Negara vs Tanah Adat

Aspek
Tanah Nagara
Tanah Adat
Penguasa

Negara (melalui BPN)

Masyarakat hukum adat

Sumber hak

Hukum nasional

Hukum adat (diakui negara)

Status hukum

Dapat diberikan kepada pihak ketiga

Penguasaan kolektif oleh komunitas adat

Peralihan hak

Melalui prosedur administrasi pertanahan

Tidak bebas dialihkan, khususnya ke luar komunitas

4. Contoh Kasus: Sengketa Tanah Adat Suku Anak Dalam vs Perusahaan Perkebunan

Kasus: Di Jambi, terjadi konflik antara Suku Anak Dalam (SAD) dengan sebuah perusahaan sawit pemegang HGU di atas tanah yang diklaim sebagai tanah adat.

Kronologi:

  • Masyarakat SAD tinggal secara turun-temurun di kawasan hutan yang kemudian dialokasikan pemerintah sebagai tanah negara.

  • Pemerintah memberikan HGU kepada perusahaan sawit, yang secara sah memiliki izin dari BPN.

  • Suku Anak Dalam menolak relokasi dan mengklaim tanah tersebut sebagai wilayah adat ulayat mereka.

  • Terjadi konflik fisik, perusakan tanaman, dan kriminalisasi warga adat.

Masalah hukum:

  • Negara menganggap tanah tersebut sebagai tanah negara karena tidak terdaftar sebagai tanah adat.

  • Namun, masyarakat adat belum pernah melepaskan hak ulayat mereka secara sah dan tidak pernah diberi kesempatan untuk diakui secara hukum formal.

Hasil:

Belum ada penyelesaian menyeluruh. Konflik ini memunculkan desakan terhadap pemerintah agar mengakui secara resmi tanah-tanah ulayat masyarakat hukum adat dan tidak serta-merta mengalihkannya menjadi HGU tanpa konsultasi dan persetujuan.

5. Penutup: Pentingnya Pengakuan Tanah Adat

Kasus di atas mencerminkan fakta bahwa tanpa pengakuan formal, tanah adat mudah dianggap sebagai tanah negara dan dialokasikan kepada pihak lain. Pengakuan tanah adat memerlukan:

  • Identifikasi dan verifikasi keberadaan masyarakat hukum adat.

  • Penetapan wilayah adat melalui SK kepala daerah.

  • Perlindungan hukum melalui peraturan daerah.

Dengan meningkatnya konflik agraria, ke depan negara perlu mempercepat pengakuan dan perlindungan hukum atas tanah ulayat, agar pembangunan tetap berjalan tanpa mengorbankan hak konstitusional masyarakat adat.

6. Kesimpulan

Perbedaan antara tanah negara dan tanah adat bukan sekadar soal administrasi, tetapi menyangkut pengakuan identitas dan hak hidup masyarakat adat. Tanah negara tunduk pada sistem pertanahan formal, sedangkan tanah adat hidup dalam sistem hukum adat yang diakui negara sepanjang masih eksis. Contoh kasus Suku Anak Dalam menunjukkan pentingnya pengakuan resmi dan pendokumentasian tanah adat untuk menghindari konflik agraria yang merugikan masyarakat adat dan pemerintah.

Lanjut
tentang penulis
PASS FOTO 3X4_Fathurramadhan PN - Fathur Putra
Fathurramadhan Putra Nugraha

Intern at Ambarsan & Partners Law Firm

Belum menemukan solusi yang sesuai?

Kami Siap Membantu Anda Melalui Konsultasi Hukum yang Tepat dan Terpercaya.

Hubungi Tim Hukum Kami