Dalam praktik hukum di Indonesia, terdapat dua sistem hukum yang saling berdampingan dan saling memengaruhi, yaitu hukum positif nasional yang diwakili oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), serta hukum Islam yang dalam konteks ekonomi dikenal sebagai hukum ekonomi syariah. Salah satu aspek fundamental dalam kedua sistem hukum ini adalah perjanjian, yang dikenal sebagai kontrak dalam hukum perdata dan akad dalam hukum ekonomi syariah. Meskipun keduanya berfungsi sebagai alat legal untuk menciptakan hubungan hukum antara para pihak, terdapat perbedaan mendasar dari segi asas, bentuk, syarat, dan akibat hukumnya.
Pengertian Asas dan Dasar
Kontrak menurut KUH Perdata Pasal 1313 adalah suatu perjanjian di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Kontrak dalam hukum perdata didasarkan pada asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), yang berarti para pihak bebas membuat isi, bentuk, dan jenis perjanjian selama tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, atau kesusilaan.
Sementara itu, akad dalam hukum ekonomi syariah adalah kesepakatan antara dua pihak atau lebih yang menimbulkan akibat hukum sesuai prinsip-prinsip syariah. Akad tidak hanya tunduk pada kehendak para pihak, tetapi juga harus sesuai dengan ketentuan syariat Islam, seperti larangan riba, gharar (ketidakjelasan), dan maysir (judi). Dengan kata lain, kebebasan berakad dibatasi oleh nilai-nilai syariah.
Syarat Sah dan Unsur Perjanjian
KUH Perdata menetapkan syarat sah perjanjian dalam Pasal 1320, yaitu: (1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, (2) kecakapan untuk membuat perikatan, (3) suatu hal tertentu, dan (4) suatu sebab yang halal. Jika tidak memenuhi syarat subjektif, perjanjian dapat dibatalkan; jika tidak memenuhi syarat objektif, perjanjian batal demi hukum.
Dalam hukum syariah, akad memiliki rukun dan syarat yang sedikit berbeda, yakni:
Sehingga, jika suatu akad mengandung unsur riba atau gharar, maka akad tersebut dianggap batil menurut syariah, meskipun secara hukum perdata bisa saja dianggap sah.
Jenis dan Tujuan
Hukum perdata mengenal berbagai jenis perjanjian seperti jual beli, sewa-menyewa, pinjam- meminjam, dll., dan umumnya bersifat komersial sekuler, tanpa mempertimbangkan nilai moral/agama. Tujuan utamanya adalah kepastian hukum dan pemenuhan hak-hak sipil para pihak.
Sebaliknya, akad dalam hukum ekonomi syariah dibedakan antara akad tabarru’ (non-profit) seperti hibah dan qardh, dan akad tijari (komersial) seperti murabahah, mudharabah, musyarakah, dan ijarah. Tujuannya bukan semata-mata profit, tapi juga keadilan, keseimbangan, dan keberkahan.
Sanksi dan Penyelesaian Sengketa
Dalam KUH Perdata, pelanggaran kontrak dapat diselesaikan melalui gugatan wanprestasi di pengadilan. Kompensasi umumnya berupa ganti rugi (schadevergoeding). Sementara itu, dalam akad syariah, penyelesaian bisa melalui lembaga arbitrase syariah (BASYARNAS) atau pengadilan agama. Sanksi tidak hanya bersifat hukum positif, tetapi juga dapat dikenai sanksi moral atau keagamaan jika akad menyimpang dari prinsip syariah.
Kesimpulan
Meski secara fungsional akad dan kontrak sama-sama menjadi sarana pembentukan hubungan hukum antar pihak, namun perbedaan mendasar terletak pada dasar filosofis dan nilai yang melandasi keduanya. Kontrak dalam hukum perdata bersifat bebas dan rasional, sementara akad dalam hukum syariah dibatasi oleh nilai-nilai ilahiyah yang bertujuan untuk menciptakan keadilan dan kemaslahatan. Pemahaman atas perbedaan ini penting dalam praktik hukum di Indonesia yang menganut sistem hukum majemuk.

Intern at Ambarsan & Partners Law Firm